kini aku bukanlah raga kasat mata. aku baru saja keluar dari fisik nyataku dan menjadi seonggok jiwa dengan fisik baru yang lebih bersinar. akhir sebenarnya adalah keabadian. seperti ujung seekor kadal yang terputus lalu tumbuh lagi dan begitu seterusnya. dan inilah aku sekarang, menatap kesendirian di depan mata. aku terus berjalan, seakan-akan tak ada yang berubah dari duniaku. biasa-biasa saja. tak ada yang berubah dengan sekitarku. hanya diriku sendiri. ternyata tak berpengaruh besar dengan alam. aku adalah sebutir pasir di tengah padang yang tertiup angin. melayang tanpa tujuan dan tak ada yang menyadari. mungkin sebagian ikut bersamaku dan mungkin yang lainnya bertahan agar tidak ikut terbawa. semuanya sibuk dengan urusannya masing-masing. apalagi di kehidupan setelah matiku. hanya aku yang peduli dengan diriku sendiri.
aku baru melangkah sekitaran lima menit, tapi kaki langit di ufuk timur sudah mulai berwarna terang. tak kusangka perbedaan waktu antardimensi begitu jauh, mengingat mestinya aku mati setelah azan isya berkumandang. atau langkahku yang begitu lambat sehingga waktu terasa sangat lama. aku harus terbiasa dengan ini. waktuku dalam sehari (24 jam) di dunia sekitar dua puluh menit disini, bisa tiga hari untuk waktu yang dilewati di permainan playstationku. ya, Tuhan.
Laman
Senin, 13 Agustus 2012
bukan sekedar cinta
gerak dalam malu ingin tahu
untuk gerik yang ku kutip setiap kedip
genggaman kecil tersinggung merayu
tak bisa ku pandang lagi selain matamu
raga tak perlu mengundang ragu
cinta bahkan melihat yang membutakan
kita sebut derita jika tak bahagia
raga membagi rindu, tatkala logika membisu
jadilah kau seperti inginmu aku menjadi inginku
aku tak sekedar cinta
cinta tak mengatakan semuanya
aku tak ingin mengatakan cinta
karena kata tak seberapa rasa
andaikan bisa ku ungkap semua
hatiku hanya ingin kau milikku, selamanya
cinta tak mengatakan semuanya
aku lebih dari cinta
untuk gerik yang ku kutip setiap kedip
genggaman kecil tersinggung merayu
tak bisa ku pandang lagi selain matamu
raga tak perlu mengundang ragu
cinta bahkan melihat yang membutakan
kita sebut derita jika tak bahagia
raga membagi rindu, tatkala logika membisu
jadilah kau seperti inginmu aku menjadi inginku
aku tak sekedar cinta
cinta tak mengatakan semuanya
aku tak ingin mengatakan cinta
karena kata tak seberapa rasa
andaikan bisa ku ungkap semua
hatiku hanya ingin kau milikku, selamanya
cinta tak mengatakan semuanya
aku lebih dari cinta
kau hanya (entah) cinta
kau membuatku ingin terus bersajak
kau membuatku ingin terus bersenandung
kau membuatku layaknya penghayal
kau membuatku bak pujangga cinta
hanya dengan kekuatan parasmu
hanya dengan keangkuhan katamu
hanya dengan siluet sosokmu
hanya dengan aura hangatmu
entah apa yang harus kuperbuat
entah apa yang akan kau katakan
entah apa jadinya aku tanpa kau di pikiranku sepejam saja
entah apa bisa rasa ini saling bertukar pilu karena rindu
cinta ini seperti pisau mengiris batang pohon, tumpul tanpa kepastian
cinta ini seperti jarum meniti kain, bergelut dalam robek luka sebab terkikis tua
cinta ini seperti daun tertiup angin dalam dentingan kumpalan debu, sendiri
cinta ini sama seperti apa yang semestinya induk berikan kepada anaknya, tulus
kau hanya entah yang mereka sebut dengan bahagia
kau hanya entah yang mereka cerita dalam tawa
kau hanya entah yang mereka jadikan lirik pujangga
kau hanya cinta yang kukenal selama ini, Ayu.
kau membuatku ingin terus bersenandung
kau membuatku layaknya penghayal
kau membuatku bak pujangga cinta
hanya dengan kekuatan parasmu
hanya dengan keangkuhan katamu
hanya dengan siluet sosokmu
hanya dengan aura hangatmu
entah apa yang harus kuperbuat
entah apa yang akan kau katakan
entah apa jadinya aku tanpa kau di pikiranku sepejam saja
entah apa bisa rasa ini saling bertukar pilu karena rindu
cinta ini seperti pisau mengiris batang pohon, tumpul tanpa kepastian
cinta ini seperti jarum meniti kain, bergelut dalam robek luka sebab terkikis tua
cinta ini seperti daun tertiup angin dalam dentingan kumpalan debu, sendiri
cinta ini sama seperti apa yang semestinya induk berikan kepada anaknya, tulus
kau hanya entah yang mereka sebut dengan bahagia
kau hanya entah yang mereka cerita dalam tawa
kau hanya entah yang mereka jadikan lirik pujangga
kau hanya cinta yang kukenal selama ini, Ayu.
puisi sambil tunggu sms balasanmu
aku cerewet
apalagi di kala kosong, hanya tombol-tombol mungil ini yang senang kupencet-pencet
belum lagi rindu bersua kian kebelet
tak adakah ruang untuk jarum jam berputar lebih cepet?
atau sekalian membuat jarak ini semakin mepet
dan mendobrak rasa jenuh di hati yang lama mampet?
pasti akan bahagia walau sedikit bunyi aneh, “pret, pret, preeet !”
tenang itu bunyi klakson kendaraan yang mengangkut cintaku di jalan macet
macet karena mereka begitu banyak berderet
menuju hatimu saja, ribeet
jadi, dengan tak sabar aku membawa suka yang kuseret
masuk ke hatimu, “preeet !”
ssstt ! tenang, terima saja. walau lebay beudh.
apalagi di kala kosong, hanya tombol-tombol mungil ini yang senang kupencet-pencet
belum lagi rindu bersua kian kebelet
tak adakah ruang untuk jarum jam berputar lebih cepet?
atau sekalian membuat jarak ini semakin mepet
dan mendobrak rasa jenuh di hati yang lama mampet?
pasti akan bahagia walau sedikit bunyi aneh, “pret, pret, preeet !”
tenang itu bunyi klakson kendaraan yang mengangkut cintaku di jalan macet
macet karena mereka begitu banyak berderet
menuju hatimu saja, ribeet
jadi, dengan tak sabar aku membawa suka yang kuseret
masuk ke hatimu, “preeet !”
ssstt ! tenang, terima saja. walau lebay beudh.
Jumat, 10 Agustus 2012
gorilla
Aku melihat benda besar, hitam dan membola sedang bergulir
pelan dari arah kejauhan. Entah itu apa, jarakku dengannya sama sekali
mengaburkan sosoknya. Tapi, semakin detik semakin dekat ia kini. Ada dua sinar merah seperti tempelan di benda
hitam itu. Di bawahnya ada sinar putih membentuk oval yang berantakan. Tapi sinar
itu kadang muncul kadang hilang. Mungkin karena sinar itu hanya ada di satu
sisinya.
Kakiku refleks melangkah mundur. Jantungku berdetak tak
beraturan, semakin cepat. Aku takut dengan benda ini. Walau tidak sepenuhnya
aku tahu apa atau siapa dia karena gelap langit yang menyembunyikan bulan malam
ini. Aku merasa takut. Tiba-tiba hatiku berderu dengan lantang begitu jarak
benda itu tinggal dua meter denganku. Bayangnya semakin jelas dengan warna
hitam yang lebih gelap dari sekitarnya. Mungkin karena ia bergerak-gerak maka
garis-garis bayangnya semakin kentara.
ada jalan lain
atau mungkin akan ada guncangan keras yg menghancurkan tempat itu. atapnya runtuh dan menjatuhimu. tepat diatas kepalamu. menghancurkanmu hingga berkeping-keping. seperti pecahan gelas kaca yg dihantam dengan pemukul bisbol.
lalu kenapa kau berpikir untuk berlari sejauh mungkin jika pada akhirnya, hasilnya akan sama saja? mati.
apa kau pernah berpikir untuk cukup menghindar saja? berada di samping kotak lift itu mungkin? kau tidak akan terkena kobaran apinya, karena kau tidak berada pada lurusan lubang kotak lift. runtuhannya? disamping lift, tepat ada tangga darurat. ingat? masuklah kesana, kau akan selamat.
kau terlalu panik dengan keadaan terburuk yg akan terjadi sampai menciutkan keberanianmu. itu bisa melumpuhkan akal sehatmu, kawan. kau sama saja sekarat. dan kau bisa ‘mati’ jika salah langkah.
tenanglah. sudah sewajarnya apa yang Ia inginkan itulah yg terjadi. jika gagal di satu urusan, maka jadilah manusia cerdas untuk mencapai keberhasilan di urusan yg lain. seperti menghindari ledakan bom pada kotak lift. bertahanlah!
lain halnya jika Ia ingin, pintu lift tidak terbuka saat bom itu meledak. terima saja.
bukan harapan
aku tidak pernah berharap ada disini. di salah satu kamar rumah sakit Universitas tempat ayahku bekerja dan saudara-saudaraku kuliah.
aku tidak pernah berharap ayahku akan terjatuh dari motor di tengah perjalanan menuju mesjid untuk menunaikan salat jum’at saat berada di kota lain. tulang iganya retak lalu divonis untuk opname selama masa penyembuhan. divonis dokter cantik yg kupaksa melihat namanya dari sela-sela rambut panjangnya pastinya. dr. Herlina tertera di papan namanya. cantik untuk sekelas dokter. senyumnya manis, tapi pernah sekali saat berpapasan dia tak membalas senyumku. mungkin dia tak melihatku.
ah! aku tidak pernah berharap disini. setiap hari harus ke rs, pulang, ke rs, pulang dan seterusnya. makan makanan ayahku yg tidak ia makan. memberinya pispot untuk buang air kecil. mengambilkannya air hangat dan meminumkannya. membuangkan tisu yg dia gunakan untuk menampung lendir dari hidungnya. tangannya sulit untuk bergerak. aku dan ibuku harus banyak bekerja keras membantunya. bahkan selama ayahku di rs, ibuku selalu setia menemaninya. mereka hampir dua minggu tidak menginjakkan kakinya di rumah lagi. mungkin rumahku sangat merindukan mereka atau mereka sangat merindukan rumah. tapi, setauku bukan ini yg mereka inginkan. begitu pula aku.
pagiku
pagi ini masih sama seperti biasanya, badanku tidak pernah begitu sigap bangkit setelah mata terbuka. mataku layaknya tombol menghidupkan CPU badanku. saat mata terbuka, CPU hidup. dan tentunya ada proses yg cukup lama hingga PC bisa digunakan. bisa lebih lama jika spesifikasinya rendah. jika dianalogikan, mungkin akan lebih tepat kalau aku menyebut diriku PC dengan processor pentium 2.
pagi ini tak berbeda dengan pagi sebelumnya jika aku terbangun di istanaku. kasurku begitu erat memeluk tubuhku. kulitku terasa begitu sensitif dengan setiap sentuhan bantal-bantalku yang demikian menggoda. ku balas pelukan kasurku dan kubiarkan bantal-bantal itu menikmati setiap bagian tubuhku yg disentuhnya. pagi sama saja. selalu melelahkan untukku.
Kamis, 02 Agustus 2012
Rencana besar hari ini
Sabtu pagi. Tejo, anak ingusan Jl. Gak Canggung A yang memiliki
kediaman dari kardus tepat di samping tempat sampah besar, pagi ini
seperti biasa menggaruk-garuk sampah di hadapannya. Hari ini giginya
kuning dan senyumnya terus terlihat. Dia punya rencana yang menakutkan
di kepalanya.
Mata si tejo terus melirik kesana kemari. Bola matanya seakan ingin keluar, kadang melihat ke sampah dan kadang melihat ke jalan. Lalu tak lama mulutnya terbuka lebar, liurnya menetes sangat banyak keluar dari dalam bibirnya yang menganga.
Mata si tejo terus melirik kesana kemari. Bola matanya seakan ingin keluar, kadang melihat ke sampah dan kadang melihat ke jalan. Lalu tak lama mulutnya terbuka lebar, liurnya menetes sangat banyak keluar dari dalam bibirnya yang menganga.
Langganan:
Postingan (Atom)