aku bercita-cita menjadi dokter sejak pertama kali duduk di bangku TK. guruku mempersilahkan kami memperkenalkan diri berganti-gantian di depan kelas. kami juga disuruh menyebutkan cita-cita. teman-temanku banyak yang ingin menjadi dokter. aku kagum dengan dokter yang begitu banyak digemari. hingga aku juga menyebutkan dokter sebagai cita-citaku, padahal aku sendiri belum tahu apa itu cita-cita.
Aku menyebutkan dokter sebagai cita-citaku, karena aku tertarik dengan jas putihnya. Seseorang yang menggunakan jas putih dokter, serta mengalungkan stetoskop di lehernya, tampak begitu keren menurutku.
Waktu kian bergulir. Tidak terasa, aku telah menjadi seorang siswa putih-merah. Ya, siswa SD. Jenjang pendidikanku yang semakin tinggi, sama sekali tidak mengubah cita-citaku menjadi seorang dokter. Hingga aku menginjakkan kaki di koridor sekolah menengah kejuruan, impianku menjadi seorang dokter tidak pernah berganti. Meskipun cita-citaku itu sangatlah berbanding terbalik dengan jurusan yang aku pilih di SMK.
Sudah begitu banyak argumen orang lain tentang cita-citaku. Argumen mereka seakan sangat ingin mematahkannya. Mereka juga seakan mengarahkanku menjadi seorang ahli teknologi. Padahal, aku sendiri tidak begitu menguasai itu. Mereka menganggap, impianku menjadi seorang dokter itu tidak masuk akal. yaa, kembali lagi, karena sangat berbanding terbalik dengan jurusanku. Ah, aku hanya menutup telinga. Karena yang kutahu cuma satu. menjadi seorang dokter. Mengenakan jas putih, mengalungkan stetoskop di leherku, tersenyum manis di hadapan pasien, seraya mengucapkan "Bismillah. Atas izinMu, ya Allah, hamba mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yg diderita oleh saudaraku ini. Amin." di dalam hati.
Laman
Senin, 07 Januari 2013
ingat ini, sayang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar