setiap tawa adalah anak kebencian
setiap tangis melahirkan senyuman dan kembali menangis
setiap perilaku digerakkan kemalasan
setiap tindakan menghasilkan kesia-siaan
setiap langkah memandu kemaksiatan
setiap tapak terjejak lalu rusak
setiap suara adalah godaan
setiap kata adalah kebohongan
setiap rasa adalah manis yang sesat dan sesaat
setiap pemandangan tak layak menemani setiap tatapan tak ber-awak
setiap sudut pandang berbeda, dibuang dan tak dipandang
setiap doa hanya lalu lalang
setiap ingin adalah bukan kebutuhan
setiap sesal adalah jurang perjuangan
setiap semangat adalah api korek yang mati setelah rokok terbakar
setiap kenikmatan adalah setiap hisapan rokok
setiap syukur tak terucap atau terucap karena lupa untuk kembali tak mengingat
setiap harapan dalam mimpi, dalam nyata, dalam kepastian, dalam keraguan, dalam api korek yang sebentar adalah sekedar harapan masa depan, tertinggal selamanya di kepala untuk tertanam dan tumbuh sebagai penyesalan
setiap membenci yang mencintai
setiap mencintai walau sulit dicintai
setiap raga tersakiti dan batin menangis
setiap nafas
setiap dentuman jantung
setiap aliran darah
setiap kasih sayang bersama setiap pukulan kemungkaran
setiap keadilan yang disangkal
setiap keegoisan
dan setiap waktu aku bertanya,
"dimana aku? apa kau melihatku?"
di setiap mata ini terbuka.
Laman
Rabu, 16 Januari 2013
aku merenung, aku bercermin
Senin, 07 Januari 2013
ingat ini, sayang
aku bercita-cita menjadi dokter sejak pertama kali duduk di bangku TK. guruku mempersilahkan kami memperkenalkan diri berganti-gantian di depan kelas. kami juga disuruh menyebutkan cita-cita. teman-temanku banyak yang ingin menjadi dokter. aku kagum dengan dokter yang begitu banyak digemari. hingga aku juga menyebutkan dokter sebagai cita-citaku, padahal aku sendiri belum tahu apa itu cita-cita.
Aku menyebutkan dokter sebagai cita-citaku, karena aku tertarik dengan jas putihnya. Seseorang yang menggunakan jas putih dokter, serta mengalungkan stetoskop di lehernya, tampak begitu keren menurutku.
Waktu kian bergulir. Tidak terasa, aku telah menjadi seorang siswa putih-merah. Ya, siswa SD. Jenjang pendidikanku yang semakin tinggi, sama sekali tidak mengubah cita-citaku menjadi seorang dokter. Hingga aku menginjakkan kaki di koridor sekolah menengah kejuruan, impianku menjadi seorang dokter tidak pernah berganti. Meskipun cita-citaku itu sangatlah berbanding terbalik dengan jurusan yang aku pilih di SMK.
Sudah begitu banyak argumen orang lain tentang cita-citaku. Argumen mereka seakan sangat ingin mematahkannya. Mereka juga seakan mengarahkanku menjadi seorang ahli teknologi. Padahal, aku sendiri tidak begitu menguasai itu. Mereka menganggap, impianku menjadi seorang dokter itu tidak masuk akal. yaa, kembali lagi, karena sangat berbanding terbalik dengan jurusanku. Ah, aku hanya menutup telinga. Karena yang kutahu cuma satu. menjadi seorang dokter. Mengenakan jas putih, mengalungkan stetoskop di leherku, tersenyum manis di hadapan pasien, seraya mengucapkan "Bismillah. Atas izinMu, ya Allah, hamba mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yg diderita oleh saudaraku ini. Amin." di dalam hati.